Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh
saya mau curhat, mohon tanggapan dari ustadz. Ceritanya saya dipertemukan dengan akhwat yang jamilah (cantik) sekali. Sayang, saya merasa kurang PD (percaya diri) dihadapannya. Bagaimana Ustadz? Terima kasih
08158431xxxx
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh.
Alhamdulillah. Kalau saudara berniat tulus hendak menikahinya, sementara saudara sudah melihat bahwa si akhwat memiliki kriteria sebagai wanita yang shalihah, berakhlak baik – tidak hanya jamilah saja – dan memiliki keturunan yang baik pula.
Di samping itu, ia tidak memiliki hal-hal yang sangat saudara benci dalam kepribadiannya, untuk itu, silakan saja saudara maju melamarnya,
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah memiliki “baa-ah” (kemampuan seksual), hendaknya ia menikah. Sesungguhnya yang demikian itu lebih dapat memelihara pandangan mata dan kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa. Sesungguhnya puasa itu adalah obat baginya.”
Rasa cinta dan suka itu fithrah. Allah ta’ala menegaskan,
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (Jannah).” (Ali Imran : 14)
Saudara harus merasa percaya diri, karena masalah jodoh sulit diukur dengan standar pisik. Apalagi, ini berkaitan dengan niat yang luhur, menyelamatkan diri dari bahaya zina. Imam Nawawi menjelaskan, “Dalam sebuah riwayat disebutkan, ‘Sesungguhnya Allah tidak akan melihat tubuh kalian, tetapi melihat hati kalian.’ Karena, hal-hal yang bersifat lahir tidak akan bisa menghasilkan ketakwaan. Ketakwaan itu hanya bisa dicapai melalui bantuan amalan hati. Allah ta’ala hanya memberikan ganjaran dan pahala berdasarkan kondisi hati, bukan kondisi fisik.”
Asal Akhi (saudaraku-red) membekali diri dengan ketakwaan, mengisi hati dengan ketaatan, perbaiki niat dan lakukan amalan yang terbaik di hadapan Allah, Akhi pasti akan memiliki hati yang kuat dan teguh. Coba camkan apa yang diucapkan seorang ulama bernama Abdul Aziz kepada seorang pemuka bid’ah bernam Bisyr al-Marisi, saat si ahli bid’ah mengejeknya karena ulama itu bertampang buruk, “Sesungguhnya Allah menimpakan bala cobaan terhadap Nabi Yusuf, justru karena wajahnya yang ganteng.”
Kami tidak bilang kalau Akhi tidak ganteng lho… Tapi, mungkin Akhi agak minder, karena kayaknya si akhwat lebih “berkelas” dibandingkan Akhi. Itu tidak jadi soal. Tampil saja apa adanya. Bila Akhi sudah merasa mantap untuk melamarnya, bulatkan tekad, lamar saja. Tapi, untuk mengurangi risiko “keterlanjuran”, sebaiknya Akhi menjajaki terlebih dahulu perasaan si akhwat. Mungkin dengan perantaraan akhwat lain, adiknya atau saudaranya. Bila sudah mendapatkan lampu hijau atau setidaknya lampu kuning kehijau-hijauan, baru Akhi melangkah ke tahap selanjutnya.
Akhi, rasa suka memegang peranan sangat penting untuk kelanggengan sebuah rumah tangga. Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda,
“Kalau seorang lelaki berkesempatan untuk melihat pada diri wanita itu sesuatu yang mendorongmu untuk mau menikahinya, hendaknya ia melakukannya.”
Ibnu Hajar -rohimahulloh- menjelaskan, “Mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang muslim dianjurkan melihat wanita yang hendak dipinangnya.”
Imam al-Mubarakfuri memberi penjelasan: “Arti ‘yang mendorongmu untuk mau menikahinya,’ yakni bahwa dengan melihatnya, akan lebih baik, lebih pantas dan memungkinkan terjadinya persesuaian antara keduanya.”
Nah, Akhi sudah memiliki yang pertama, yaitu rasa suka atau rasa cinta. Bila “kecantikan” si akhwat semakin disempurnakan dengan inner beauty (keindahan batinnya), kesalihan dan kebagusan akhlaknya, lengkaplah seperti disebutkan dalam hadits, “Dunia adalah kenikmatan, dan sebaik-baiknya kenikmatan dunia adalah wanita yang shalihah.”
Untuk itu, jangan membuang-buang kesempatan. Bila Akhi melamarnya, dan ternyata Allah menakdirkan kalian berdua tidak bisa bersatu dalam kehidupan berumah tangga sebagai suami istri, tidak menjadi masalah. Itu jauh lebih ringan, ketimbang Akhi membuang kesempatan mencoba melamarnya, akhirnya keburu dilamar orang lain. Lebih menyakitkan lagi, kalau ternyata ketahuan sesudahnya, bahwa si akhwat sebenarnya menunggu keberanian Akhi melamarnya. Untuk itu, sekali lagi, tampil saja apa adanya, namun lekaslah mengambil sikap bila segalanya dianggap sudah memungkinkan.
Masalahnya, kalau Akhi belum siap menikah, rasa cinta itu harus diperangi agar tidak mengakar dalam hati. Bukan karena haramnya cinta kasih, namun karena haramnya cinta itu dilampiaskan di luar aturan syariat.
Sebagai analogi, mungkin bisa kita cermati makanan dan minuman. Betapa lezatnya suatu makanan, dan betapa laparnya kita, meski makanan itu halal. Namun saat kita sedang berpuasa terutama puasa wajib di bulan Ramadhan, kita harus menahan diri dan gejolak nafsu dalam jiwa kita, hingga tiba saatnya berbuka. Ya, kalau khawatir kesegaran makanan tersebut berkurang, berikan saja kepada orang yang sedang tidak berpuasa.
Akhi, bila rasa cinta itu masih menggeliat di hati Akhi, sementara Akhi belum mampu menikahinya, maka rasa cinta itu tidak boleh dipupuk. Karena melampiaskan cinta kasih dengan mengobrol, berbual-bual, saling melihat dan bepergian bersama-sama adalah haram.
Dan sebenarnya cinta seperti itu lebih layak disebut nafsu asmara, bukan cinta sejati. Balutannya adalah nafsu, bukan iman. Karena orang yang ingin menyantap makanan yang bukan miliknya, atau yang haram hukumnya bila dimakan, atau menggauli wanita yang bukan istrinya, mencabut tanaman yang bukan kepunyaannya, berarti telah memiliki nafsu untuk berbuat kezhaliman, berbuat haram dan melakukan pelanggaran terhadap aturan Allah. Cobalah simak hadits Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam–,
“Jangan melihat lawan jenis lebih dari satu kali. Karena melihat yang pertama (tanpa sengaja) adalah mubah, tapi yang ke dua sudah haram.” Juga sabda beliau kepada Ali, “Palingkan pandanganmu dari wanita itu.”
Akhirnya si akhwat yang jelita itu, bisa menjadi anugerah bagi Akhi, bila Akhi bisa menikahinya menurut aturan syariat. Namun bisa juga menjadi bencana paling hebat dalam kehidupan Akhi, bila Akhi membiarkannya menjadi bibit kemaksiatan demi kemaksiatan, dalam kehidupan sehari-hari. Semoga Akhi mendapatkan yang terbaik. (***)
Rubrik Konsultasi Pra Nikah Majalah Nikah Sakinah Vol. 9 No. 9, Desember 2010 (pernah di muat di majalah Nikah Vol.4, No.1, April 2005)
0 komentar:
Posting Komentar